Edisi Selasa, 14 September 2021 M / 7 Shafar 1443 H.
Shalat merupakan suatu kewajiban yang harus dilaksanakan untuk mendapat ridha Allah Subhanahu WaTa'ala. Tentu sebagai umat Islam tidak boleh meninggalkan shalat, meski hanya satu waktu.
Di tengah kondisi sakit pun, shalat masih bisa dikerjakan. Sebab Allah memberi keringanan kepada orang sakit untuk menjalankannya. Keringanan yang dimaksud ialah mengenai tata cara shalatnya.
Secara umum orang yang sakit tetap wajib melaksanakan sholat.
Orang yang dalam keadaan sakit tetap diwajibkan untuk melakukan sholat fardhu. Terdapat beberapa langkah cara yang bisa diikuti sesuai dengan kemampuannya.
Dikutip dari buku Sifat Sholat Nabi ﷺ karya Syekh Abdullah bin Abdurrahman al-Jibrin, berikut beberapa tata cara yang dapat diikuti :
1. Ke Satu
Seorang yang sakit wajib sholat Fardhu sambil berdiri, jika ia tidak takut sakitnya akan bertambah parah.
2. Ke Dua
Jika ia mampu untuk berdiri dengan bertopang kepada tongkat atau bersandar ke dinding, atau berpegang kepada seseorang di sampingnya, maka ia wajib berdiri.
3. Ke Tiga
Jika ia mampu berdiri, meskipun agak bungkuk, mendekati posisi ruku, seperti orang yang bongkok atau telah berusia lanjut, di mana punggungnya condong (ke depan), maka ia wajib berdiri.
4. Ke Empat
Jika ia mampu berdiri, tapi ia tidak bisa ruku atau sujud, maka kewajiban untuk berdiri tidak gugur baginya. Ia wajib berdiri dan ia ruku sambil berdiri, yaitu cukup dengan isyarat.
5. Ke Lima
Jika penyakitnya jelas-jelas bertambah parah dengan berdiri, atau ia sangat kesulitan jika berdiri, atau berdiri dapat membahayakan dirinya, atau ia khawatir penyakitnya akan bertambah parah, maka ia diperbolehkan sholat sambil duduk.
6. Ke Enam
Yang utama bagi orang sakit apabila ia sholat sambil duduk adalah duduk sila di tempat di mana ia berdiri. Yang sahih (benar) adalah ia ruku sambil duduk sila, karena ruku itu asalnya dari posisi berdiri.
7. Ke Tujuh
Jika ia tidak mampu duduk, maka ia sholat sambil berbaring dengan wajah menghadap kiblat. Yang utama adalah sholat dengan meletakkan lambung kanannya di tempat sholat.
8. Ke Delapan
Jika si sakit tidak mampu sholat sambil berbaring, maka sholat sambil terlentang, dengan dua kaki di arah kiblat.
9. Ke Sembilan
Jika si sakit tidak mampu sholat sambil menghadap kiblat, dan tidak ada orang yang menghadapkannya ke kiblat, maka ia sholat dalam keadaan menghadap ke mana saja.
10. Kesepuluh
Jika ia tidak mampu sholat dengan terlentang, maka ia sholat dalam keadaan apa pun.
11. Ke Sebelas
Apabila ia tidak mampu sholat dengan keadaan-keadaan yang telah dijelaskan tadi, maka ia sholat dengan hatinya. Ia takbir, membaca (al-Fatihah dan ayat Alquran lainnya), dan ia niat ruku, sujud, berdiri, dan duduk dengan hatinya.
12. Ke Dua belas
Jika si sakit di tengah sholat nya mampu untuk melakukan apa yang sebelumnya ia tidak mampu seperti tiba-tiba ia mampu untuk berdiri, ruku, sujud, atau isyarat maka ia harus beralih melakukan apa yang ia mampu saat ini, dan ia melanjutkan sholat nya (tidak usah mengulang lagi dari awal).
13. Ke Tiga belas
Jika si sakit tidak dapat sujud ke tempat sujud, maka ia isyarat untuk sujud tanpa meletakkan kepalanya ke lantai. Juga tidak harus menyimpan sesuatu di tempat sujudnya agar ia dapat sujud padanya.
14. Ke Empat belas
Orang yang sakit wajib melaksanakan sholat pada waktunya.
15. Ke Lima belas
Bagaimanapun keadaannya, seorang yang sakit tidak boleh meninggalkan sholat , selama akalnya masih ada.
16. Ke Enam belas
Jika seorang yang sakit menginggalkan sholat karena tertidur atau lupa, maka ia wajib melakukannya di saat ia terbangun atau ingat. Ia tidak boleh menundanya hingga masuk waktu sholat yang semisal dengan sholat yang tertinggal tersebut
Misalnya ia lupa sholat zuhur. Maka ia tidak boleh menundanya hingga masuk waktu Zuhur di hari berikutnya. Akan tetapi ia wajib melakukannya begitu dia ingat.
17. Ke Tujuh belas
Jika seorang yang sakit melakukan perjalanan untuk berobat di luar negeri, maka ia mang-qashar (meringkas) sholat yang empat rakaat. Ia sholat Zuhur, Ashar dan Isya dua rakaat-dua rakaat, selama ia dalam perjalanan, selama ia tidak bermukim lebih dari empat hari (Lihat Al-Mugni asy-Syarhul Kabiir).
Semoga bermanfaat...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.