Siapa yang tak sedih dengan mewabahnya pandemic Covid-19 di Indonesia saat ini. Hingga artikel tausiah ini diposting Selasa, 2 Juni 2020 pukul 17.17 WIB jumlah pasien Covid-19 di Indonesia sudah mencapai 27.549 orang, dengan jumlah yang meninggal mencapai 1.663 orang. Belum lagi aspek ekonomi masyarakat yang sangat terdampak akan wabah ini.
Pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk menyelesaikan wabah ini. Demikian juga berbagai pihak telah bersama-sama ikut saling bahu-membahu mengawal pemerintah dalam berbagai sektor. Baik dalam pengadaan APD, masker hingga penyaluran bantuan sembako pada masyarakat di kota terdampak.
Pemerintah juga telah menginstruksikan masyarakat yang bekerja di sektor formal untuk bekerja dari rumah, Kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyedot banyak massa pun ditiadakan, termasuk sekolah dan kampus juga diliburkan (belajar dari rumah). Semua ini dilakukan untuk meminimalisir penyebaran wabah Covid-19 ini.
Namun, dalam perjalanannya itikad baik dari pemerintah dan para ahli ini pun seakan mendapat tantangan. Kebijakan-kebijakan yang telah dikaji dengan matang nyatanya riuh di permukaan. Oleh sebagian masyarakat yang berkelakar di media social. Berbagai narasi yang dibumbui agama dan budaya pun dimunculkan.
Masyarakat pun kebingungan. Ditengah suasana yang sangat mengkhawatirkan ini, ternyata masih ada sebagian kalangan yang bukannya berperan aktif menenangkan dan berbuat positif, justru menebar kepanikan dan bersikap apatis. Tentu realita ini sangat mengkhawatirkan.
Namun, dari semua ini kita seharusnya tetap bersikap positif dan mengambil pelajaran dari semua peristiwa yang telah terjadi. Ada banyak sekali hikmah-hikmah yang tersimpan dari sebuah cobaan. Bukankah demikian?
Allah SWT telah banyak memberikan contoh dalam hal ini. Allah tidak akan membuat sesuatu sekecil apapun di dunia ini, dengan nir faidah. Sama halnya dalam Musibah Covid-19 yang menguji ketabahan seluruh penduduk bumi ini.
Syekh Izzuddin Bin Abdissalam (660 H) seorang Ulama kenamaan dari Madzhab Syafi’i jauh-jauh hari telah merangkum berbagai faidah dan hikmah dari sebuah Musibah dan bencana dalam satu karangannya.
Ulama yang bergelar Sulthanul Ulama ini menulis sebuah kitab berjudul Al-Fitan wa al-Balaya Wa al-Mihan wa al-Razaya atau dalam manuskrip lain kitab ini berjudul Fawaid al-balwa wa al-Mihan.
Dalam kitab ini Syekh Izzuddin bin Abdisslam menyebutkan secara ringkas 17 faidah dan hikmah dibalik sebuah musibah atau pun bencana seperti yang sudah diposting sebelumnya kemarin sore.
Berikut 17 hikmah dibalik musibah yang telah dirangkum Syekh Izzudin bin Abdissalam tentu dengan menambahi redaksi dan narasi yang sesuai konteks saat ini.
1. Pertama
Dalam musibah ini kita bisa menyaksikan betapa agungnya kekuasaan Allah. Karena pada hakikatnya semua musibah ini berasal dari Allah, sehingga patut kiranya dari musibah ini kita kembali menyadari bahwa semua ini adalah bentuk Keagungan Allah yang tiada tara.
2. Kedua
Kita hanyalah hamba yang tak berdaya. Di tengah berbagai upaya manusia menghadapi wabah ini kita kembali harus menyadari kita semua hanyalah hambaNya. Ketika semua upaya telah dikerahkan, semua kemampuan juga telah digerakkan kita akan menemui sebuah batas kehambaan. Setelah itu semua keputusan adalah hak Allah. Dan kita pun harus menyadari ‘semua ini telah digariskan’.
3. Ketiga
Ikhlas menerima musibah ini. Karena tidak ada yang sanggup menghilangkan musibah ini kecuali Allah. Tidak akan ada yang sanggup meringankannya kecuali Allah. Sehingga mau tidak mau kita harus ikhlas menerima semua ini sebagai bentuk ketundukan kita sebagai seorang hamba.
4. Keempat
Kita akan menyadari bahwa Allah lah tempat kembali yang sejati. Hal ini selaras dengan apa yang diisyarahkan Allah dalam surat Az-Zumar ayat 8 “Dan apabila manusia itu ditimpa kemudharatan, dia memohon (pertolongan) kepada Tuhannya dengan kembali kepada-Nya.”
5. Kelima
Kita dilatih dan dibiasakan untuk Berdoa kepada Allah. Dengan kondisi seperti ini, rasanya tidak mungkin kita menggantungkan harapan pada selain Allah. Karena Allah sudah berjanji untuk selalu mengabulkan permintaan dari hambanya yang sudi menengadahkan tangan untuk meminta.
6. Keenam
Kita dilatih untuk bersikap tenang menghadapi situasi seperti ini. Syekh Izzzuddin bin Abdissalam dalam hal ini menyitir cerita Nabi Ibrahim yang dipuji Allah dalam Al-Qur’an sebagai orang yang tenang dalam menghadapi musibah (Q.S At-Taubah : 114). Begitupula kita dalam situasi ini kita dituntut dan dilatih untuk tetap bersikap tenang.
7. Ketujuh
Memaafkan kepada sesama manusia. Dalam konteks ini tentu sangat relevan dengan kondisi bangsa ini. Dimana banyak diantara kita yang justru menjadikan berbagai kelompok sebagai kambing hitam pandemik ini. Sebagaimana kita saksikan sendiri banyak yang menyatakan pandemik ini adalah adzab Allah atas kezhaliman China, juga ada yang mengaitkannya dengan penindasan etnis Uyghur disana. Dari hikmah ketujuh ini kita seakan ditohok oleh Syekh Izzuddin bin Abdissalam untuk menanggalkan semua sikap itu. Kita lebih baik fokus pada upaya-upaya produktif menanggulangi dampak Covid-19 ini bagi bangsa ini.
8. Kedelapan
Kita harus bersikap sabar. Apapun dampak musibah yang ditimbulkan dari pendemik ini hendaknya kita menyikapi dengan sabar, kuat, tabah dan tegar. Karena ujian dan cobaan yang cukup berat ini juga dirasakan oleh seluruh umat manusia di muka bumi.
9. Kesembilan
Kita harus bergembira atas berbagai hikmah dibalik musibah ini. Artinya kita harus memandang ini dengan kacamata hikmah. Syekh Izzuddin bin Abdissalam menganalogikan hal ini dengan seseorang yang sedang sakit, tentu ia harus mengkonsumsi berbagai obat-obatan yang pahit rasanya. Nah, dari sini seyogyanya seorang tersebut tidak merasakan pahitnya obat tersebut, namun harus meyakini efek positif setelah meminum obat tersebut.
10. Kesepuluh
Kita harus mensyukuri musibah ini. Sebagaimana seorang pasien yang berterima kasih atas pelayanan seorang dokter yang telah mengobati lukanya.
11. Kesebelas
Hal ini merupakan ajang peleburan dosa itu. Dengan adanya musibah ini barangkali ini merupakan cara Allah untuk mensucikan kotoran-kotoran yang mengotori diri kita.
12. Kedua belas
Memupuk rasa kemanusiaan kita. Hal ini menjadi penting diutarakan oleh Syekh izuddin bin Abdissalam karena terdapat riwayat hadis dalam Kitab Muwattho’ Imam Malik. “Diantara manusia ada yang diberi kesehatan ada pula yang diberi cobaan. Maka kasihanilah (mereka) yang tertimpa cobaan dan syukurilah atas kesehatan.”
Dalam musibah Covid-19 ini pun kita juga telah menyaksikan betapa banyak manusia yang terpanggil untuk ikut serta menyumbangkan apa yang mereka punya untuk membantu sesama. Dari sini kita harus merenung hal apa sajakah yang telah kita lakukan atas “solidaritas kemanusiaan” ini?
13. Ketigabelas
Kita baru menyadari betapa pentingnya kesehatan. Dalam hal ini, kita bisa merenung betapa hal remeh dalam kehidupan kita seperti cuci tangan rutin, pola hidup, pola makan sehat tiba-tiba menjadi hal yang penting dalam kehidupan kita. Bahkan di akhir Syekh Izzuddin bin Abdissalam mengungkapan ungkapan popular yang kini sering didengungkan “kita akan tahu betapa berharganya kesehatan setelah kehilangannya”.
14. Keempatbelas
Di balik semua ini menyimpan pahala yang besar bagi orang yang bersabar.
Firman-Nya. وَلَنَجْزِيَنَّ الَّذِينَ صَبَرُوا أَجْرَهُم بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ “Dan, sesungguhnya Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang sabar dengan pahala yang lebih baik dari apa yang mereka kerjakan”. [An-Nahl : 96] نَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُم بِغَيْرِ حِسَابٍ “Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas”. [Az-Zumar : 10]
15. Kelimabelas
Di balik semua ini juga terdapat hikmah yang luar biasa. Syekh Izzuddin bin Abdissalam mencontohkan ketika Nabi Ibrahim mendapat cobaan dengan kehilangan sosok Siti Sarah dalam hidupnya. Allah mendatangkan Siti Hajar sebagai penggantinya bahkan ia melahirkan seorang penerus yakni Nabi Ismail AS.
16. Keenambelas
Mencegah merebaknya kemaksiatan. Sebagaimana kita tahu dengan mewabahnya virus ini banyak lokasi-lokasi maksiat yang menjadi tutup. Banyak orang takut melakukan maksiat. Dan hal ini merupakan hikmah yang luar biasa.
17. Ketujuhbelas.
Hikmah yang terakhir ini merupakan puncak hikmah yang diberikan oleh Allah. Namun tidak semua hambanya bisa mencapai fase ini. Apa itu? Yakni lahirnya sikap rida atas segala ketentuan Allah. Sikap ini menjadi puncak dari segala hikmah diatas, adalah karena dengan keridaan kita terhadap apa yang telah digariskan Allah akan melahirkan Ridho Allah pada kita pula.
Semoga bermanfaat....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.