Selasa, 31 Januari 2023

KALAM ULAMA DR.KH.MUHHAMAD SABERAN AFANDI,MA

Edisi Selasa, 31 Januari 2023 M / 9 Rajab 1444 H.

KH. Saberan  Affandi bin H. Afandi Abdurrahim, lahir di Amuntai, Kamis, 15 Oktober 1942 M (bertepatan dengan  4 Syawal 1361 H). Pendidikan dasar dimulai di Sekolah Rakyat (SR) Telaga Silaba (lulus 1955), setelah itu melanjutkan ke Pondok Pesantren Rasyidiyah Khalidiyah (lulus tahun 1961). Sebelum kuliah di Fakultas Ushuluddin Rakha Amuntai, beliau menyambung ke sekolah Pendidikan Guru Agama tingkat pertama (PGAP) dan PGA tingkat atas (lulus tahun 1962).

Sejak tahun 1965 beliau bermukim di Madinah al-Munawarah, yang  kemudian kembali kuliah ke Universitas Islam Madinah (1971). Tidak berhenti menimba ilmu, beliau kemudian mengambil program magister di Universitas King Abdul Aziz Mekkah (1976). Sedangkan gelar Doktor dibidang hadits dari Universitas Ummul Qura Mekkah (1982) beliau dapatkan setelah dengan gemilang mempertahankan desertasi berjudul : Marwiyyat ash-shahabi al-Jalil Abi Sa’id al-Khudri fi Musnad al-Imam Ahmad.

Dengan kepakaran beliau dalam bidang hadits dipercaya menjadi Tim Penyusun Kompilasi Hukum Islam (KHI). Menjadi pembicara dalam berbagai forum ilmiah, serta mengisi pengajian rutin di beberapa majelis taklim, diantaranya di Majelis Taklim “al-Ma’arif” Amuntai, Majelis Taklim Langgar "Syi'arul Muslimin" Paliwara, Majelis di Pesantren "Ummul Qura" Amuntai, dll, Disamping itu, beliau juga aktif di kegiatan jama'ah tabligh hingga dapat melakukan dakwah ke beberapa negara seperti Malaysia, Brunai Darussalam, Thailand, Singapura (wilayah Asean), juga ke Jepang, India, Pakistan dan Banglades.

Berikut ini adalah beberapa diantara kalam beliau:

1. “Kalau seseorang dulu bermaksiat, mungkin karena gairah anak muda, atau mungkin durhaka dengan orang tua, kemudian dia bertaubat kepada Allah, maka dia yang bertaubat itu menjadi kekasih Allah. Ini anehnya, meskipun dia bekas maling kalau dia bertaubat, maka dia menjadi kekasih Allah”.

2. “Apabila kita menggunakan mata, telingan dan akal untuk kebaikan, maka menjadi wali Allah”.

“Mensyukuri nikmat Allah itu  adalah tidak menggunakannya untuk melakukan kemaksiatan”

3. “Taubatnya orang yang mulia itu karena merasa sedikitnya mencintai Allah, sedikitnya mencintai Allah ini yang mereka taubati”.

4. “Kenapa sembahyang tahajud kita kada terasa lezat karena hati kita berdosa, mata berdosa, telinga berdosa maka siksanya kontan (yaitu) sembahyang tahajud kada terasa lezat, karena matanya berdosa, telinganya berdosa, mulutnya berdosa, hatinya berdosa”.

5. “Syukur itu, adalah kita mengucap dengan lidah : Alhamdulillah, artinya kita tidak akan ujub. Misalnya : Ya Allah, aku sehat, ujarnya, kawa sembahyang ini, (maka) Allah yang menolong aku kada aku, (tapi) aku ini ditolong oleh Allah, aku diganii oleh Allah yang menolongku kawa sembahyang, kawa sembahyang kada batal, kadang garing, kada lupa dan sebagainya. Jadi nang mangawaakan kita tu hanya Allah. Kemudian, di dalam hati kita tu ada perasaan yakin bahwa semuanya itu hanya daripada Allah. Dan kemudian dengan amal, dengan anggota tubuh. Jadi mulai tangan, kaki, mulut, telinga kita semuanya aktif digunakan untuk sesuatu yang diredhainya. Jadi syukur itu menggunakan jiwa raga untuk sesuatu yang diredhai-Nya”.

6. “Dengan cinta saja tidak cukup. “Ya nabi salam ‘alaika”, baikai (bagus), bapahala. Tapi amun cinta hanya dengan mulut saja, hanya dengan qasidah saja, belum. “Kun syafi’ an ya habibi” , Ya nabi Syafa’ati aku, tapi kalau amalnya kada berubah, apa gunanya ? nah ini artinya dakwahnya kada sukses”.

7. “Khusyuk’ tu kada ngalih (sulit). Ada zahir ada bathinnya. Nang zahir yaitu berjama’ah, di awal waktu, dan dimana ada orang azan. Separohlah sudah. Sedangkan khusyuk bathin adalah konsentrasi hati yaitu hanya mencinta Allah, dan mencintai Allah adalah (dengan) ta’at”.

8. “Ma’af, (ini) al-Qur’an dihafal, dimusabaqahkan, tapi tidak diamalkan. Begitu musabaqah yang dimusabaqahkan hanya bunyinya saja, amalnya kada. Hendaknya yang kita musabaqahkan bunyinya, maknanya, pengamalannya dan keempat dakwahnya. Sebab, zaman Nabi al-Qur’an jadi satu, (ketika diwahyukan) langsung bunyinya dihafal, (kemudian) langsung diamalkan”.

9. “Tandanya kita hamba yaitu berdo’a. Kalau kita tidak mau berdo’a berarti kita termasuk orang yang sombong. Sugihkah kita ini ? Ampun kitakah ? Kalau kita meminta (sesuatu) pada seseorang di toko, sekali mungkin diberi, tapi kali kedua atau ketiga, mungkin tidak lagi, bahkan mungkin diusir. Namun, bila kita meminta pada Allah, Masya Allah, kita pasti diberi-Nya”.

10. “Orang yang mau datang kepada Allah, mau bersujud kepada-Nya, maka dialah kekasih-kekasih Allah”.

“Bila shalat seseorang khusyuk, maka akhlaknya pasti bagus”.

11. “Hendaknya kita berhati-hati terhadap hasutan (kata-kata) syetan, seperti mengatakan : ‘orang yang shalat, orang yang puasa, orang alim ja belum tentu masuk sorga’, atau kata-kata, ‘mencari nang halal ja ngalih apalagi yang haram’ atau dengan olokan,’jangan ma alang-alang maksiat, nyaman ditimbai malaikat sing gancangan sampai talimpua pada neraka’.

12. “Allah tidak akan menyiksa orang yang mencintai-Nya, sebagaimana orang tua tidak sarik (marah) atau memukul kepada anaknya yang penurut, atau seseorang yang mencintai tidak akan menyakiti kekasihnya”

13. “Apabila kita mementingkan dan mencintai dunia, maka itu hanya  untuk kesenangan sekitar 50, 60 atau seribu tahun saja, atau sepanjang umur manusia saja, tetapi dibandingkan dengan negeri akhirat yang kekal, maka tidak ada artinya dan nilainya sedikitpun”.

14. “Apabila kita mau keluar ketempat lain untuk tujuan dakwah, maka akan kita lihat dan rasakan bahwasanya ilmu yang kita miliki tampak sedikit sekali, ibaratnya hanya seujung telunjuk jari”.

15. “Diakhirat nanti, apabila timbangan perbuatan jahat kita lebih banyak atau lebih berat dibandingkan dengan amal kebaikan kita, walaupun hanya se senti atau se mili, maka kita akan sengsara”.

16. “Perintah Baginda Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam adalah mutlak untuk dipatuhi (taati) ketimbang hanya sekedar memuji-muji Nabi dengan membaca syair-syair (atau shalawat-shalawat). Seumpama seorang ayah yang mempunyai 2 (dua) orang anak yang baik. Anak pertama, apabila dipanggil dan disuruh ayahnya langsung mendatangi dan mengerjakan apa yang diperintahkan. Sedangkan anak yang kedua, ketika dipanggil dan disuruh hanya memuji-muji ayahnya. Meski kedua anaknya  baik, tetapi tentu ayahnya akan cinta atau lebih suka kepada anaknya yang pertama, yaitu yang taat kepada perintahnya. Begitu pula dengan Allah Subhanahu Wa Ta'ala dan baginda Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam akan mencintai orang-orang yang mengamalkan perintah-perintahnya (sunnahnya).”

17. “Terhadap anak, jangan “disumpahi”, siapa tahu dia nanti menjadi orang yang lebih baik daripada kita. Oleh karena itu, bagi orang tua, harus ada niat untuk mengarahkan anak kemana, kemudian disertai do’a, serta yang ketiga yaitu Mujahadah (sungguh-sungguh)”.

Semoga bermanfaat....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.