Rabu, 25 November 2020

17 ADAB GURU MENURUT ISLAM

Edisi Rabu, 25 November 2020 M / 10 Rabi'ul Akhir 1441 H

Dalam menyambut HUT PGRI atau Hari Guru Nasional,  tausiah sore ini membahas 17 adab guru menurut islam yang disarikan dari kitab Adab al-Alim wa al Muta'allim karya KH.M.HasyimAsy'ari, pahlawan nasional Indonesia yang berasal dari kalangan pesantren.

Tak hanya murid saja yang harus mempunyai adab, seorang guru juga harus memiliki adab dan tata krama dalam mendidik murid atau santri. Pada tausiah edisi Rabu sore ini, bertepatan dengan Hari Guru Nasional 25 November, kita akan mengutipkan nasehat Mbah Hasyim kepada guru dalam kitab Adabul Alim wal Muta’allim.  

Ada 17 poin adab guru dan nasehat untuk guru yang ada dalam kitab. Berikut ulasannya:

1. Sadar Pengawasan Allah Subhanahu wa ta'ala 

Seorang guru harus selalu merasa di awasi Allah Ta'ala saat sendiri atau bersama orang lain. Muraqabah atau selalu sadar pengawasan Allah Subhanahu wa ta'ala kapan pun dan dimanapun. Seorang guru yang sadar pengawasan Allah akan selalu berusaha menjaga etika dan menjadi guru yang baik.

2. Takut Kepada Allah dalam Segala Hal 

Seorang guru harus senantiasa takut kepada Allah Subhanahu wa ta'ala dalam setiap gerak, diam, ucapan dan perbuataan, sebab ilmu, hikmah dan takut adalah amanah yang dititipkan kepadanya, sehingga bila tidak dijaga maka termasuk berkhianat. Allah Subhanahu wa ta'ala telah berfirman, “Janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) jangan kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui.” (Al-Anfal: 27)

3. Tenang, Wara, Tawadhu’ dan Khusuk 

Selalu tenang, wara`, tawadhu` dan khusyuk kepada Allah Subhanahu wa ta'ala. Imam Malik berkata kepada Khalifah Harun ar Rasyid dalam suratnya, “Apabila engkau mengetahui suatu ilmu, hendaknya tampak pada dirimu pengaruh dari ilmu itu, juga kewibawaan, ketenangan dan kesantunan dari ilmu itu. Karena Rasul pernah bersabda bahwa ulama adalah ahli waris para nabi.”

Sahabat Umar radhiyallahu'anhu berkata, “ Pelajari ilmu beserta sikap tenang dan wibawa.” Sebagian ulama salaf berkata, “Wajib bagi orang yang berilmu bersikap rendah diri di hadapan Allah Ta'ala, baik dalam keadaan sendirian maupun ketika bersama orang lain; menjaga jarak dengan hawa nafsunya dan berhenti dari hal-hal yang akan menyulitkannya.”

4. Memasrahkan Semua Urusan Kepada Allah 

Seorang guru hendaknya memasrahkan semua urusan kepada Allah Subhanahu wa ta'ala. Seorang guru bisa berusaha memberikan ilmu kepada murid.  Namun, berhasil atau tidaknya harus dipasrahkan kepada Allah Subhanahu Wa ta'ala. 

5. Tidak Menjadikan Ilmu Batu Loncatan 

Sangat berbahaya jika ilmu dibuat sebagai batu loncatan. Seorang guru tidak boleh menjadikan ilmunya sebagai batu loncatan untuk memperoleh tujuan-tujuan duniawi seperti jabatan, harta, kekayaan, perhatian orang, ketenaran atau keunggulan atas teman-teman seprofesinya. Semua didasarkan pada keikhlasan karena Allah dan tanpa tendensi lain yang mengganggu kemurnian hubungan guru-murid.

6. Tidak Memuliakan Penghamba Dunia 

Seorang guru tidak boleh memuliakan para penghamba dunia dengan cara berjalan dan berdiri untuk mereka, kecuali bila kemaslahatan yang ditimbulkan lebih besar dari ke-mafsadahan-nya. Hendaknya juga tidak mendatangi tempat calon murid guna mengajarkan ilmu kepadanya, meskipun murid itu orang berpangkat tinggi. Sebaiknya guru memelihara kehormatan ilmunya sebagaimana ulama salaf memeliharanya.

Sangat banyak cerita tentang bagaimana ulama salaf memelihara kehormatan ilmu di hadapan para khalifah dan para pejabat lainnya, seperti cerita yang diriwayatkan Imam Malik bin Anas bahwasanya dia pernah bertutur, “Aku mendatangi Harun ar-Rasyid, lalu dia berkata padaku, ‘Wahai Abu Abdillah, sepatutnya engkau sering mengunjungi kami agar anak-anakku bisa mempelajari kitab Muwatho` darimu.’ Akupun balik berkata, ‘Semoga Allah memuliakan raja. Sesungguhnya ilmu ini telah keluar dari anda; ia akan mulia bila anda memuliakannya dan menjadi hina bila anda merendahkannya. Ilmu itu dihampiri bukan menghampiri.’ Khalifah berkata, ‘Engkau benar. (Hai anak-anakku) pergilah kalian ke masjid dan belajarlah bersama orang-orang’.”

Imam Zuhri berkata, “Satu hal yang membuat llmu hina, yaitu bila guru mendatangi rumah murid dengan membawa ilmu untuk diajarkan.” Jika terdapat suatu keadaan mendesak yang menghendaki untuk berbuat seperti di atas atau ada tuntutan kemaslahatan yang lebih besar dari kemafasadahan hinanya ilmu, maka perbuatan tersebut diperbolehkan selama dalam kondisi seperti itu. Faktor inilah yang menjadi dasar dari apa yang dilakukan oleh sebagian ulama salaf ketika mereka menemui sebagian raja dan para pejabat lainnya. Intinya, siapa yang mengagungkan ilmu maka Allah akan mengagungkannya. Dan siapa yang menghina ilmu maka Allah akan menghinakannya. Dan ini jelas.

Wahb bin Munabbih berkata, “Para ulama yang mendahuluiku merasa cukup dengan ilmu mereka, tanpa mendambakan dunia orang lain karena kecintaan mereka terhadap ilmu. Tapi sekarang orang yang berilmu memberikan ilmu mereka pada orang yang mempunyai banyak harta karena ingin mendapatkan harta mereka, sehingga yang terjadi orang yang memiliki harta tidak suka ilmu karena mereka memandang rendah ilmu.

Sungguh indah apa yang disampaikan oleh Qodhi Abu al-Husain al-Jurjani dalam bait-bait syairnya. Dia berkata:

Aku belum pernah memenuhi hak ilmu. Setiap kali muncul ketamakan aku menjadikan ilmu sebagai anak tangga.

Aku belum pernah merendahkan jiwaku untuk melayani ilmu. Bukannya aku melayani orang yang aku temui, tapi malah aku ingin dilayani.

Apakah aku menanam ilmu yang mulia, lalu aku memanen hina. Karena itu, memilih kebodohan bisa jadi lebih menyelamatkan.

Andai orang yang berilmu menjaga ilmunya, maka ilmu itu yang akan menjaga mereka. Dan andai mereka memuliakannya dalam jiwa, niscaya ia menjadi mulia.

Namun mereka menghinakannya, ia pun hina. Dan mereka kotori mukanya dengan ketamakan hingga ia bermuram durja.

7. Zuhud dan Mengambil Dunia Sekedar Cukup 

Guru harus memiliki perangai zuhud dan mengambil dunia sekedar cukup untuk diri sendiri dan keluarganya sesuai standar qana'ah. Orang berilmu yang paling rendah derajatnya adalah orang yang menganggap jijik sikap ketergantungan kepada dunia, sebab dia lebih mengetahui kekurangan dunia dan fitnah yang ditimbulkannya, juga mengetahui bahwa dunia cepat sirna dan sangat melelahkan. Dialah orang yang berhak untuk bersikap tak acuh pada dunia dan tak terlalu menyibukkan diri mengejar iming-iming dunia.

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam berkata, “Mulia orang yang qana`ah dan hina orang yang tamak.” Imam Syafi`i berkata, “Andai aku berwasiat, maka orang yang paling pintar akan memberikannya pada ahli zuhud. Maka siapa yang paling berhak dibanding ulama, sebab mereka memilki kelebihan dan kesempurnaan akal?”

Yahya bin Muadz berkata, “Andai dunia emas lantak yang hancur sedangkan akhirat tembikar yang abadi, niscaya orang berakal akan lebih memilih tembikar yang abadi dibanding emas lantak yang rusak. Namun (kenyataannya) dunia tembikar yang rapuh dan akhirat emas lantak yang abadi.

Bagi orang yang tahu bahwa harta akan ditinggalkan untuk ahli waris dan akan ditimpa kemusnahan, seharusnya zuhudnya lebih kuat daripada cintanya pada harta serta dia akan lebih memilih untuk meninggalkan harta daripada mencarinya.

8. Jauhi Profesi yang Kurang Pantas 

Seorang guru seharusnya menjauhi segala bentuk mata pencaharian yang rendah dan hina menurut akal sehat, juga profesi yang makruh menurut adat dan syaraiat Islam seperti tukang catut, tukang samak, tukang tukar-menukar mata uang, tukang pembuat perhiasan dari emas dan lain sebagainya.

9. Menjauhi Sesuatu yang Dapat Merendahkan Harga Diri 

Guru juga sebaiknya menghindari tempat-tempat yang memungkinkan  timbulnya prasangka buruk orang terhadap dirinya, meskipun kemungkinan itu jauh adanya. Tidak boleh bagi guru melakukan sesuatu yang dapat mengurangi harga dirinya (muru`ah) dan sesuatu yang secara lahir dianggap munkar, walaupun kenyataannya hukumnya boleh. Bila hal itu dilakukan berarti dia menghadapkan dirinya pada posisi rawan kena tuduhan atau prasangka yang bukan-bukan, dan bisa  menyebabkan orang lain melakukan dosa dengan ber-su`uzhon padanya.

Namun, jika terpaksa melakukan perbuatan di atas, karena ada keperluan atau alasan lainya, hendaknya guru menjelaskan hukum, alasan dan maksud dari perbuatannya tersebut kepada orang yang mengetahuinya, agar tidak membuat orang itu berdosa (dengan berburuk sangka) dan lari menjauh; tidak mau menimba ilmu darinya lagi.

Oleh Sebab itu, Nabi berkata pada dua lelaki yang sedang memergoki beliau berbincang dengan Shofiyah lalu mereka bersegera pergi:”Hai kalian, Jangan terburu-buru pergi, Perempuan ini adalah Shofiyah”, kemudian berkata, “Sesungguhnya Setan itu seperti darah yang mengalir dalam tubuh manusia, makanya aku khawatir setan membisikkan sesuatu yang buruk pada kalian. Sebab hal itu akan merusak kalian.”

10. Menjaga Keistiqamahan 

Guru juga harus menjaga keistiqamahan menjalankan syiar-syiar Islam dan ibadah-ibadah yang dhahir seperti shalat berjamaah di masjid, menebarkan salam pada siapa saja, amar makruf nahi munkar, serta selalu tabah atas penderitaan, teguh dengan kebenaran dimuka penguasa, pasrah sepenuhnya pada Allah Ta'ala tanpa ada rasa takut cercaan orang dan selalu memotivasi diri dengan firman Allah Subhanahu wa ta'ala yang artinya, “Dan bersabarlah atas apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal hal yang diwajibkan (oleh Allah)” (QS Luqman: 17).

Begitu juga dengan kesabaran Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wasallam dan para Nabi lainnya atas penderitaan yang mereka alami dan atas pertentangan kaum sebagaimana kisah tentang Nabi Adam dengan puteranya, Nabi Syits dengan kaumnya, Nabi Nuh, Hud dan Sholih dengan kaum mereka, Nabi Ibrahim dengan Namrud serta ayahnya, Nabi Ya`qub dengan puteranya, Nabi Yusuf dengan saudaranya, Nabi Ayyub dengan musibah penyakit yang dideritanya, Nabi Musa dengan Bani Israil setelah selamat dari banjir besar, Nabi Isa dengan Ashabul Maidah, Nabi Muhammad dengan kaumnya lalu dengan para sahabat pada perang Hudaibiyyah dan Hari pembagian harta perang.

11. Dapat Menjadi Teladan bagi Umat 

Guru harus melestarikan sunnah, membasmi bid`ah dan memberikan perhatian terhadap masalah agama dan urusan-urusan yang menyangkut kemaslahatan umat Islam,  sesuai dengan jalan yang bisa diterima oleh syariat, adat dan tabiat. Tidak mengambil cukup dengan melaksanakan pekerjaan lahir dan batin yang mubah, tetapi harus memilih yang terbaik dan sempurna, karena para ulama merupakan panutan, rujukan hukum dan hujjah Allah Ta'ala bagi orang awam. Terkadang tanpa sepengetahuan ulama, hal ihwal mereka menjadi sorotan dan panutan orang-orang yang tidak mereka kenal. Kalau orang alim tidak mengamalkan ilmunya maka orang lain semakin jauh untuk mengambil teladan darinya. Kesalahan kecil orang alim menjadi besar karena dampak negatifnya terhadap para pengikutnya.

12. Menghiasai Diri dengan Kesunnahan 

Guru seyogyanya selalu menghiasi perbuataan dan pekerjaan dengan kesunnahan seperti membaca  Al Quran dan zikir kepada Allah dengan hati dan lisan. Serta membaca doa-doa, zikir yang diajarkan Rasulullah pada siang dan malam, mengerjakan sholat, puasa, haji kalau mampu, membaca sholawat, cinta, hormat dan ta`zhim pada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam dan menjaga adab tatkala mendengar namanya dan menyebut hadits-haditsnya.

13. Berbudi Pekerti yang Baik pada Orang Lain 

Memperlakukan orang lain dengan budi pekerti yang baik adalah sifat yang harus dimiliki guru, misalnya dengan menampakkan wajah yang berseri-seri, menebarkan salam, memberi makanan, mengendalikan amarah, menjaga orang lain dari hal-hal yang menyakitkan dan berusaha menanggungnya, mendahulukan orang lain dan tidak ingin didahulukan, berlaku adil dan tidak menuntut keadilan, mengucapkan terima kasih atas kebaikan orang lain, menimbulkan suasana nyaman ketika bersama orang lain  membantu orang lain mendapatkan hajatnya, menanggalkan jabatan untuk memaafkan orang lain, mengasihi orang fakir, baik pada tetangga dan kerabat, memberikan kasih sayang, pertolongan dan kebaikan kepada murid.

Ketika melihat orang yang shalat dan thoharah-nya atau ibadah wajibnya yang lain tidak sempurna, guru harus membimbinggnya dengan pelan dan kasih sayang sebagaimana sikap Rasulullah kepada orang badui yang kencing di dalam masjid dan kepada Muawiyah bin al-Hakam yang bicara saat mengerjakan sholat.

14. Bebas dari Akhlak Tercela 

Mereka harus bersih jiwa dan raga dari akhlak yang tercela dan membangunnya dengan akhlak yang mulia. Akhlak tercela, diantaranya, adalah dendam, dengki, zalim, marah bukan karena Allah Ta'ala, menipu, sombong, ingin dipuji (riya`), bangga diri, ingin dihormat, pelit, tidak mensyukuri kenikmatan, tamak, berpakaian dengan penuh gayanya, berebut kekayaan, bersaing-saingan yang tidak baik, cari muka dengan berkata manis, gila bersolek agar dilihat orang, ingin dipuji atas sesuatu yang tidak dia kerjakan, buta terhadap aib sendiri dan peka dengan aib orang, possesif dan fanatik bukan karena Allah Subhanahu wa ta'ala, bergosip, menyebarkan isu miring,  berdusta dan meremehkan orang lain. Hindarilah, Hindarilah semua itu! sebab merupakan keburukan yang membuka pintu keburukan-keburukan yang lain.

Obat dari penyakit-penyakit hati ini dapat ditemukan di pelbagai kitab yang mengorek masalah hati (kutub ar-raqoiq). Maka barang siapa yang mau menyucikan hati dari penyakit-penyakit itu wajib mempelajarinya. 

15.Tetap Rajin dan Istiqamah dalam Belajar dan Diskusi 

Guru harus bisa melanggengkan antusiasme dalam menambah ilmu dan senantiasa bersungguh-sungguh dan istiqamah beribadah serta rajin membaca, belajar, mengulang-ngulang ilmu, memberi komentar kitab yang dibaca, menghapal, berdiskusi dan mengajarkan ilmu. Guru tidak boleh menyia-nyiakan waktu untuk selain ilmu dan urusan mangamalkannya, kecuali untuk keperluan yang sifatnya primer (dhorurah) seperti makan, minum, tidur, istirahat ketika jenuh, menunaikan hak istri atau tamu, mencari nafkah keluarga, istirahat karena sakit atau karena udzur-udzur lain yang mengganggu aktivitas.

Sebagian ulama tidak meninggalkan aktivitas belajar ketika tertimpa sakit ringan. Mereka mencari obat penyembuh sakit itu dengan belajar dan menyibukkan diri dengan ilmu semampu mereka. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya amal perbuatan tergantung niatnya.” Hal ini karena ilmu merupakan kategori warisan para nabi. Dan keluhuran derajat tidak akan bisa dicapai kecuali dengan bersusah payah.

Dalam kitab Shahih Muslim diriwayatkan bahwa Yahya bin Katsir berkata, “Ilmu tidak bisa diperoleh dengan bersantai.” Dalam hadits pun ada ungkapan bahwa jalan surga dipenuhi dengan hal-hal yang tidak disukai nafsu. Dikatakan dalam sebuah syair, “Apakah kamu ingin dapatkan keluhuran derajat dengan murah, padahal untuk mendapatkan madu kamu harus siap disengat lebah?”

Imam Syafi`i berkata, “Wajib bagi orang yang berilmu mengerahkan semaksimal mungkin kesungguhannya untuk memperbanyak ilmu, bersabar atas segala rintangan dalam belajar, meng-ikhlas-kan niat hanya untuk Allah ta`ala dalam memperoleh ilmu baik dengan menghapal teks maupun menganalisis dan menyimpulkan dalil (istinbath), dan berharap pertolongan Allah dalam mencari ilmu. ”Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, “Semangatlah kamu dalam mencari hal yang bermanfaat bagimu dan mintalah pertolongan Allah ta`ala.”

16. Tak Malu Bertanya Jika Tidak Tahu 

Tidak hanya murid yang harus bertanya ketika tidak tahu, guru pun tidak boleh segan-segan bertanya sesuatu yang tidak ia ketahui kepada orang yang secara jabatan, nasab, maupun umur berada di bawahnya. Guru harus punya hasrat yang tinggi dalam mencari pengetahuan yang berfaedah di manapun tempatnya, karena sesungguhnya ilmu yang bermanfaat (hikmah) merupakan harta hilang milik orang yang beriman, sehingga bila dia menemukannya, di manapun itu, dia akan mengambilnya.

Sa`id bin Jubair berkata, “Seseorang disebut alim ketika dia masih mau belajar. Ketika dia sudah tidak mau belajar dan mengira sudah cukup mumpuni dengan ilmunya, maka dia berarti orang terbodoh yang pernah ada.” Pepatah arab berkata, “Buta bukanlah banyak bertanya, namun sebenar-benar buta adalah selalu diam terhadap kebodohan dirinya. Sekelompok ulama salaf dulu belajar kepada murid-murid mereka sesuatu hal yang tidak mereka ketahui. Dan banyak sekali terjadi para sahabat yang meriwayatkan hadits yang mereka peroleh dari para tabi`in. Yang lebih hebat dari semua itu adalah bacaan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam ayat Al Quran di hadapan Ubay bin Ka`b. Beliau berkata, “Allah memerintahkan aku membacakan kepadamu ayat “Lam Yakun al-ladzina kafaru.” Para ulama menyatakan bahwa tindakan Rasulullah itu bermaksud untuk menyampaikan pesan bahwa orang yang lebih mulia tidak boleh segan mengambil pelajaran dari orang yang lebih rendah darinya.

Al Humaidi, seorang murid Imam Syafi`i, berkata, “ Saya menemani as-Syafi`i dari Mekah ke Mesir: Selama itu aku menimba pengetahuan yang berguna tentang beberapa persoalan dan beliau pun juga belajar hadis dari ku”. Ahmad bin Hanbal berkata, “as-Syafi`i berkata kepadaku ‘kamu lebih alim masalah hadis dariku. Maka bila ada hadis yang menurutmu shahih, katakan padaku agar aku bisa mengambilnya (sebagai dalil)’.”

17. Guru Harus Rajin Menulis 

Guru tak hanya mampu beretorika di depan murid dengan berbagai argument dan ilmunya, tetapi juga harus pandai mengarang, meringkas dan menyusun karangan, jika dia mampu melakukannya. Sebab, dengan begitu guru terdorong untuk menelaah hakikat berbagai disiplin ilmu dan detil-detil pengetahuan yang dipelajarinya, dikarenakan mengarang membutuhkan banyak cross check, verifikasi, penelaahan dan pembacaan ulang. Mengarang, sebagaimana yang diungkapkan al Khatib al Baghdadi, dapat memperkuat hafalan dan mencerdaskan hati, mengasah kecerdasan, memperindah ungkapan bahasa,  mendatangkan daya ingat yang baik mendapatkan pahala yang banyak dan nama pengarang akan kekal sepanjang masa.

Lebih baik, guru mengarahkan perhatiannya pada sesuatu yang bisa berguna dalam lingkup yang luas dan banyak dibutuhkan. Hindari ungkapan panjang yang membosankan dan ungkapan pendek yang tidak memahamkan, serta berusaha menyuguhkan materi yang pantas untuk setiap jenis karangan. Jangan mempublikasikan karangan sebelum proses editing, penelaahan ulang dan penyuntingan rampung.

Sebagian orang pada jaman sekarang ada yang menolak karya baik berupa karangan maupun hasil kumpulan, meskipun itu karya dari orang yang jelas-jelas ahli dan dikenal keluasan ilmunya. Tidak ada dasar dari penolakan itu kecuali hanya akan menimbulkan persaingan di antara orang-orang yang berilmu. Orang yang menorehkan tinta di atas kertas untuk menulis apa yang dia kehendaki, seperti syair, cerita yang diperbolehkan atau apapun bentuknya, tidak ada yang menolak karyanya. Apalagi kalau ada yang menulis tentang ilmu syariat dan ilmu-ilmu alatnya yang jelas berguna, maka tentu semestinya tidak ditolak.

Adapun orang yang tidak memiliki pengetahuan yang mumpuni menulis sesuatu, maka penolakan terhadap karyanya harus dilakukan karena karya itu mengandung kebodohan dan penipuan terhadap orang yang mempelajarinya. 

Disarikan dari kitab Adab al-‘Alim wa al-Muta’allim karya Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari 

Semoga bermanfaat.....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.