Edisi Kamis, 8 Juni 2023 M / 19 Dzulqa'idah 1444 H.
Menuntut ilmu adalah salah satu aktivitas kehidupan yang dianjurkan oleh syariat dengan anjuran yang tegas. Sebagai bukti ketegasannya, umat manusia diperintahkan menuntut ilmu tanpa batasan dimensi waktu dan tempat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda “Tuntutlah ilmu semenjak kamu terbaring di ayunan sampai beristirahat panjang di liang kuburan”. Dalam hadits lain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tuntutlah ilmu walau sampai ke negeri China”.
Namun, menuntut ilmu tidaklah sama dengan mencari kayu bakar di hutan yang hanya tinggal mengumpulkan dan membawanya pulang. Pencari kayu bakar memiliki kebebasan untuk keluar-masuk hutan kapan saja dan mengumpulkan kayu apa saja dan sebanyak mungkin. Akan tetapi seorang penuntut ilmu memiliki tata cara dan aturan dalam mencari ilmu yang dikenal dengan adãb al-muta’allim
Artikel ini akan membahas secara lengkap Adab-adab penuntut ilmu yang perlu diketahui bagi mereka yang sedang atau akan menuntut ilmu. Menuntut ilmu agama adalah sebuah tugas yang sangat mulia. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ يُرِدِ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّينِ
“Barangsiapa yang dikehendaki kebaikan oleh Allah maka Allah akan pahamkan dia dalam hal agamanya.” (HR. Bukhari)
Oleh sebab itu sudah semestinya kita berupaya sebaik-baiknya dalam menimba ilmu yang mulia ini, kita memperhatikan adab-adabnya agar ilmu yang kita peroleh berkah. Berikut adab-adab penuntut ilmu yang dikutip diantaranya dari kitab Tafsir al-Fakhru ar-Razi atau yang dikenal dengan Mafãtîh al-Ghaib :
1. Mengikhlaskan Niat untuk Allah Subhanahu wa Ta’ala
Yaitu dengan menunjukkan aktivitas menuntut ilmu yang dilakukannya untuk mengharapkan wajah Allah dan negeri akhirat, bukan obsesi dunia. Apabila dalam menuntut ilmu seseorang mengharapkan untuk memperoleh pujian, kedudukan dunia, jabatan dll, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda,
“Barang siapa yang menuntut ilmu yang seharusnya hanya ditujukan untuk mencari wajah Allah Subhanahu wa Ta’ala tetapi dia justru berniat untuk meraih bagian kehidupan dunia maka dia tidak akan mencium bau surga pada hari kiamat.”
Tidak bisa mencium aroma surga, ini adalah ancaman yang sangat keras. Akan tetapi apabila seseorang yang menuntut ilmu memiliki niat memperoleh persaksian/ijazah/gelar sebagai sarana agar bisa memberikan manfaat kepada orang-orang dengan mengajarkan ilmu, pengajian dan sebagainya, maka niatnya bagus dan tidak bermasalah, karena ini adalah niat yang benar.
2. Mengabdi dan bersikap tawadhu’ (rendah hati) terhadap guru
Dari kisah Nabi Musa yaitu saat menyampaikan maksud bahwa beliau hendak ikut kepada Nabi Khidir dengan kalimat هل أتّبعك (bolehkah aku mengikutimu) memberikan sebuah teladan baik sebagai bentuk adab kepada seorang guru. Artinya seharusnya seorang murid sebelum menimba ilmu dari gurunya agar meminta izin terlebih dahulu dengan cara mengikrarkan kesediaannya untuk ikut dan mengabdi terhadap sang guru.
Dan itu adalah sebentuk ketawadukan atau sikap rendah hati yang begitu agung dari seorang murid. Dan melalui kalimat أتّبعك ar-Razi memunculkan satu kesimpulan bahwa dalam menuntut ilmu seorang murid harus ikut kepada gurunya secara kafah, tanpa syarat dan ketentuan apa pun. Terbukti saat prosesi permintaan izin untuk ikut dengan Nabi Khidir, Nabi Musa tidak menyertakan syarat apa pun.
3. Menyatakan diri sebagai murid yang tak tahu apa-apa
Dalam menuntut ilmu seorang murid dilarang keras untuk menyanjung dirinya, bersikap angkuh, atau menampakkan kepintarannya di hadapan sang guru guna menunjukkan bahwa dirinya telah menguasai satu atau beberapa bidang keilmuan tertentu. Melainkan sebagai bentuk akhlak mulia dalam menuntut ilmu, seorang murid harusnya menampakkan bahwa ilmu yang dimilikinya sangatlah dangkal dan tak dalam, sekaligus memuji sang guru sebagai seorang cendekiawan dengan wawasan yang tinggi. Sehingga menjadi suatu pendorong kuat untuk memperoleh bimbingan intelektual dari sang guru yang wawasan intelektualnya membahari itu.
4. Ketidakbolehan memiliki banyak permintaan kepada guru
Termasuk adab menuntut ilmu, seorang murid tak ubahnya bagai orang fakir yang mengemis meminta harta kepada seorang yang kaya raya. Artinya seorang pengemis tidak mungkin meminta seluruh harta atau separuh dari harta yang dimiliki oleh orang kaya tersebut. Melainkan ia hanya meminta nol koma sekian persen saja dari persentase seluruh harta si kaya.
Begitu juga seorang murid kepada gurunya. Sang murid tidak diperkenankan untuk meminta banyak dari ilmu sang guru. Pendek kata, sebagai murid yang berakhlak mulia seharusnya agar tidak meminta kepada sang guru dalam hal keilmuan untuk dijadikan sealim gurunya atau bahkan melebihi kealiman sang guru. Tentu menyalahi tata karma ketika si pengemis meminta harta berlimpah kepada seseorang agar memiliki kekayaan yang sama dengan orang yang dimintai itu. Kendatipun demikian, sebagai guru yang baik dan profesional, pasti memiliki cita-cita yang luhur untuk para anak didiknya. Yaitu bagaimana setiap anak didiknya mampu melebihi keilmuan dirinya.
5. Mengakui bahwa semua ilmu datangnya dari Allah
Adab selanjutnya adalah bertitik fokus pada pemantapan hati seorang murid bahwa dalam menuntut ilmu sang murid harus meyakini sepenuhnya bahwa seluruh ilmu datangnya dari Allah subhanhu wa ta’ala. Bahkan termasuk ilmu yang dimiliki oleh gurunya. Hal ini al-Imam Fakhruddin ar-Razi mengkajinya melalui kalimat مما علّمت (sebagian dari ilmu yang diajarkan kepadamu). Jadi dalam konteks ini, Nabi Musa meminta kepada Nabi Khidir agar beliau berkenan mengajarkan sebagian ilmu yang diajarkan Allah kepadanya. Adab semacam ini lebih membuka terhadap kasih sayang seorang guru kepada muridnya. Sehingga ia berkenan untuk mengajarkan dan membimbing sang murid tersebut.
6. Meminta petunjuk dan bimbingan dari guru
Sebagaimana telah maklum bersama bahwa tujuan agung dari belajar dan menuntut ilmu adalah menjaga diri secara khusus dan umat manusia pada umumnya agar tidak terperosok ke dalam lubang kesesatan dan kehancuran. Akan tetapi, hanya dengan ilmu, seseorang tidak akan mampu mengubah ajakan kesesatan itu menjadi spirit kebaikan kecuali dengan petunjuk dan bimbingan dari seorang guru. Itulah hikmah dari Firman Allah subhanahu wa ta’ala ممّا علّمت رشدا. Jadi dalam penggalan ayat tersebut terdapat kalimat علّمت yang merepresentasikan makna ‘ilmu’ yang disandingkan dengan kata الرشد (petunjuk).
Dapat disimpulkan bahwa termasuk adab mulia dalam menuntut ilmu yaitu seorang murid tidak hanya meminta ilmu kepada gurunya melainkan juga memohon petunjuk, nasihat dan arahan ke jalan yang benar. Sehingga tujuan pensyariatan menuntut ilmu tersebut tercapai. Karena banyak umat manusia terjerumus ke jalan yang salah bukan karena tidak tahu bahwa itu salah. Tetapi karena tidak ada yang memberi nasihat dan dorongan agar tidak meniti titian kesesatan tersebut.
7. Ketidakbolehan menentang dan membantah apa yang dilakukan guru
Telah dijelaskan pada poin sebelumnya bahwa mengabdi adalah salah satu cara merealisasikan adab saat menuntut ilmu, yang dimana dalam mengabdi kepada guru ada beberapa hal fundamental yang sekaligus juga menjadi tata krama dalam menuntut ilmu. Salah satunya adalah taslim menyerahkan diri sepenuhnya kepada sang guru.
Hal semacam ini telah menjadi tradisi di pesantren-pesantren salaf di Indonesia. Dalam hal pernikahan misalnya, baik santriwan maupun santriwati yang telah taslim kepada seorang kiai atau pengasuh sebuah pesantren, tidak perlu sibuk mencari pasangan hidupnya. Karena mereka menunggu keputusan sang kiai tentang kapan dan dengan siapa mereka akan dinikahkan. Pola pikir yang digunakan sangatlah sederhana, karena wali santri atau orang tua dari santri yang bersangkutan telah memasrahkan putra-putrinya dengan cara menyerahkannya kepada sang kiai, maka dengan begitu, sampai dalam hal pernikahan pun juga menunggu keputusan sang kiai. Ketidakbolehan menentang dan membantah pilihan sang kiai adalah termasuk akhlak mulia dalam menuntut ilmu, sampai dalam hal penentuan jodoh sekalipun.
8. Mencari ilmu pengetahuan tanpa perhitungkan status sosial
Termasuk pelajaran yang dapat kita petik dari kisah perjalanan nyantri-nya Nabi Musa kepada Nabi Khidir ialah bahwa menuntut ilmu tidak boleh memperhitungkan status sosial. Dalam hal ini kata mutiara “أنظر ما قال ولا تنظر من قال” (perhatikanlah apa yang dikatakan dan jangan perhatikan siapa yang mengatakan) yang dituturkan oleh bab al-ilmi sayidina Ali karramallahu wajhah adalah yang paling tepat untuk mengungkapkan substansi dari pembahasan dalam poin ini.
Nabi Musa 'alaihissalam dalam perjalanan nyantri-nya tidak pernah sedikit pun mempermasalahkan status sosial beliau sebagai nabi kaum Bani Israil. Beliau tetap menjunjung tinggi akhlak dan ketawadukan beliau kepada sang guru. Begitu juga gurunya, Nabi Khidir 'alaihissalam. Sang guru bukannya tidak tahu bahwa yang datang menemui beliau dan memintanya menjadi guru adalah seorang nabi Bani Israil, sang Kalîmullah, melainkan karena sang guru paham bahwa kebenaran tidak mesti diberikan kepada orang dengan status sosial yang tinggi, akan tetapi kebenaran dianugerahkan kepada siapa saja yang Allah kehendaki.
9. Mondok untuk mengabdi dan kemudian mengaji
Kajian al-Imam Fakhruddin ar-Razi selanjutnya adalah soal manajemen waktu. Seorang thâlib al-‘ilmi (pencari ilmu) tatkala berguru, sebaiknya pertama kali yang ia lakukan adalah mengabdi kepada sang guru, baru kemudian mengaji dan menimba ilmu dari gurunya. Hal ini kerap diistilahkan dengan
الخدمة قبل العلم
(mengabdi sebelum mengaji). Kajian ini disimpulkan ar-Razi dari penggalan ayat
هل أتّبعك على أن تعلّمني
(apakah aku boleh mengikutimu agar engkau dapat mengajarkanku..). Dalam penggalan ayat tersebut penyebutan أتّبعك yang menjadi representasi dari makna ‘mengabdi’ disebutkan lebih dahulu dari pada kalimat أن تعلّمني yang merepresentasikan makna ‘mengaji’. Sehingga disimpulkan oleh ar-Razi bahwa termasuk adab menuntut ilmu adalah mendahulukan pengabdian terhadap sang guru sebelum mengaji dan menimba ilmu darinya.
10. Belajar harus untuk ilmu bukan yang lain
Adab menuntut ilmu yang berikutnya adalah berkenaan dengan niat dan tujuan menuntut ilmu. Sebagai penuntut ilmu harus mampu memperbaiki niat dan tujuan dalam menuntut ilmu. Berkaitan dengan hal ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda;
إنما الأعمال بالنيات، وإنما لكل امرئ ما نوى، فمن كانت هجرته إلى الله ورسوله، فهجرته إلى الله ورسوله، ومن كانت هجرته لدنيا يصيبها أو امرأة ينكحها، فهجرته إلى ما هاجر إليه
Artinya: "Seluruh amal perbuatan itu tergantung pada niatnya dan setiap orang hanya (akan memperoleh ganjaran) dari apa yang diniatkannya. Oleh karena itu, barangsiapa hijrahnya menuju (keridhaan) Allah dan rasul-Nya, maka hijrahnya itu menuju (keridhaan) Allah dan rasul-Nya. Barangsiapa hijrahnya karena (harta atau kemegahan) dunia yang dia harapkan, atau karena seorang wanita yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya itu ke arah yang ditujunya. (HR. Bukhari-Muslim).
11. Berlapang Dada Dalam Masalah Khilaf
Hendaknya berlapang dada ketika menghadapi masalah-masalah khilaf yang bersumber dari hasil ijtihad. Sebab perselisihan yang ada di antara para ulama itu bisa jadi terjadi dalam perkara yang tidak boleh untuk berijtihad, maka kalau seperti ini maka perkaranya jelas. Perselisihan yang terjadi pada perkara-perkara yang diperbolehkan bagi akal untuk berijtihad di dalamnya dan manusia boleh berselisih tentangnya. Adapun orang yang menyelisihi jalan salaf seperti dalam permasalahan akidah maka dalam hal ini tidak ada seorang pun yang diperbolehkan untuk menyelisihi salafush shalih.
Maka menjadi kewajiban para penuntut ilmu untuk tetap memelihara persaudaraan meskipun mereka berselisih dalam sebagian permasalahan furu’iyyah (cabang), dengan cara inilah akan tercapai hubungan baik dan sikap keras dan kasar yang ada pada sebagian orang akan bisa lenyap. Perselisihan dan pertengkaran seperti ini tentu saja membuat gembira musuh-musuh Islam, sedangkan perselisihan yang ada di antara umat ini merupakan penyebab bahaya yang sangat besar, Allah Subhanahu wa Ta’ala. berfirman yang artinya,
“Dan taatilah Allah dan Rasul-Nya, dan janganlah kalian berselisih yang akan menceraiberaikan dan membuat kekuatan kalian melemah. Dan bersabarlah sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar.” (Terjemahan QS. al-Anfaal: 46).
12. Beramal Dengan Ilmu
Yaitu hendaknya penuntut ilmu mengamalkan ilmu yang dimilikinya, baik itu akidah, ibadah, akhlaq, adab, maupun muamalah. Sebab amal inilah buah ilmu dan hasil yang dipetik dari ilmu, seorang yang mengemban ilmu adalah ibarat orang yang membawa senjatanya, bisa jadi senjatanya itu dipakai untuk membela dirinya atau justru untuk membinasakannya. Oleh karenanya dalam sebuah hadits, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “al-Qur’an adalah hujjah untukmu atau untuk menjatuhkanmu.”
13. Berdakwah di Jalan Allah
Yaitu dengan menjadi seorang yang menyeru kepada agama Allah Subhanahu wa Ta’ala., dia berdakwah pada setiap kesempatan, di masjid, di pertemuan-pertemuan, di pasar-pasar, serta dalam segala kesempatan. Perhatikanlah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau setelah diangkat menjadi Nabi dan Rasul tidaklah hanya duduk-duduk saja di rumahnya, akan tetapi beliau mendakwahi manusia dan bergerak ke sana kemari. Tidak layak bagi seorang penuntut ilmu hanya menjadi penikmat ilmu saja tanpa mendakwahkannya kepada orang lain.
14. Bersikap Bijaksana (Hikmah)
Adab penuntut ilmu selanjutnya yaitu dengan menghiasi dirinya dengan kebijaksanaan, dan yang dimaksud hikmah ialah seorang penuntut ilmu menjadi pembimbing orang lain dengan akhlaknya dan dengan dakwahnya mengajak orang mengikuti ajaran agama Allah Subhanahu Wa Ta’ala hendaknya dia berbicara dengan setiap orang sesuai dengan keadaannya.
Apabila kita tempuh cara ini niscaya akan tercapai kebaikan yang banyak. Seorang yang bijak (Hakiim) adalah yang dapat menempatkan segala sesuatu sesuai kedudukannya masing-masing. Maka sudah selayaknya, bahkan menjadi kewajiban bagi para penuntut ilmu untuk bersikap hikmah di dalam dakwahnya agar dakwahnya lebih mudah diterima oleh pemahaman orang.
15. Harus Bersabar dan Bersungguh-sungguh Dalam Menuntut Ilmu
Yaitu hendaknya dia sabar dalam belajar, tidak terputus di tengah jalan dan merasa bosan, tetapi hendaknya di terus konsisten belajar sesuai kemampuannya dan bersabar dalam meraih ilmu, tidak cepat jemu karena apabila seseorang telah merasa jemu maka dia akan putus asa dan meninggalkan belajar. Akan tetapi apabila dia sanggup menahan diri untuk tetap belajar ilmu niscaya dia akan meraih pahala orang-orang yang sabar dan juga akan mendapatkan hasil yang baik.
Dalam menuntut ilmu syar’i diperlukan kesungguhan. Tidak layak para penuntut ilmu bermalas-malasan dalam mencarinya. Kita akan mendapatkan ilmu yang bermanfaat dengan izin Allah apabila kita bersungguh-sungguh dalam menuntutnya.
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam barsabda, “Dua orang yang rakus yang tidak pernah kenyang: yaitu orang yang rakus terhadap ilmu dan tidak pernah kenyang dengannya dan orang yang rakus terhadap dunia dan tidak pernah kenyang dengannya.” (HR. Al-Baihaqi).
16. Menghafalkan dan Mencatat Ilmu Syar’i yang Disampaikan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Semoga Allah memberikan cahaya kepada wajah orang yang mendengar perkataanku, kemudian ia memahaminya, menghafalkannya, dan menyampaikannya. Banyak orang yang membawa fiqih kepada orang yang lebih faham daripadanya…” (HR. At-Tirmidzi).
Dalam hadits tersebut Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berdoa kepada Allah Ta’ala agar Dia memberikan cahaya pada wajah orang-orang yang mendengar, memahami, menghafal, dan mengamalkan sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka kita pun diperintahkan untuk menghafal pelajaran-pelajaran yang bersumber dari Al-Quran dan hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Selain itu ketika belajar, seorang penuntut ilmu harus mencatat pelajaran, poin-poin penting, faedah dari ayat, hadits dan perkataan para sahabat serta ulama, atau berbagai dalil bagi suatu permasalahan yang dibawakan oleh gurunya. Agar ilmu yang disampaikannya tidak hilang dan terus tertancap dalam ingatannya setiap kali ia mengulangi pelajarannya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ikatlah ilmu dengan tulisan” (HR. Ibnu Abdil Barr).
17. Menjauhkan diri dari dosa dan maksiat
Di antara adab penuntut ilmu adalah menjauhkan diri dari dosa dan maksiat. Seseorang terhalang dari ilmu yang bermanfaat disebabkan banyak melakukan dosa dan maksiat. Sesungguhnya dosa dan maksiat dapat menghalangi ilmu yang bermanfaat, bahkan dapat mematikan hati, merusak kehidupan dan mendatangkan siksa Allah Ta’ala. Karena layaknya nila setitik rusak susu sebelanga, maksiat barang sedikit dapat menghambat masuknya ilmu ke dalam diri kita.
Untuk memudahkan ilmu masuk ke dalam diri kita, kita harus meniatkan diri kita dalam menuntut ilmu. Tidak melakukan hal-hal tercela yang bisa membuat susah menerima ilmu. Hal-hal yang dapat kita lakukan untuk menghindari maksiat adalah tetap teguh pada niat kita, bahwa semata-mata mengharap ridla Allah Subhanahu Wa Ta'ala dalam menuntut ilmu. Menghindari perbuatan tidak terpuji yang merugikan orang lain, dan senantiasa memohon ampun kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala di setiap saat di setiap harinya.
Semoga bermanfaat...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.