Edisi Senin, 22 Januari 2024 M / 10 Rajab 1445 H.
Perkara halal dan haram memang bukanlah yang mudah. Terkadang hal-hal yang haram terlihat menggiurkan, apalagi dalam jumlah banyak. Meski begitu, Al-quran telah memberikan batasan yang jelas. Petunjuk itu itu tertulis dalam Surat Al-Maidah ayat 100.
Allah Subhanahu wa ta'ala berfirman :
"Tidak sama yang buruk dengan yang baik, meskipun banyaknya yang buruk itu menarik hatimu, maka bertakwalah kepada Allah hai orang-orang berakal, agar kamu mendapat keberuntungan."
Dalam buku Tafsir Inspiratif (2018) yang ditulis Tata Taufik, Ibnu Katsir menafsirkan bahwa sedikit yang halal dan bermanfaat lebih baik daripada yang haram dan membahayakan walaupun jumlahnya banyak.
Hal itu senada dengan hadits yang diriwayatkan Abu Al-Qasim Al-Bawi yang menceritakan Tsa’labah Ibn Hathib dari Kaum Anshar.
“Wahai Rasulullah, doakanlah agar Allah memberiku harta,” pinta Tsa'labah.
Lalu, Rasulullah menjawab, yang sedikit kamu syukuri lebih baik dari yang banyak kamu tidak kuat mensyukurinya.
Tiap orang selalu punya masa lalu, baik atau buruk, tiap orang dinilai dari akhirnya yakni akhir baik akan membawa ke surga dan akhir buruk akan membawa ke neraka, sebab itu jika ada orang yang bertaubat atas dosa yang dilakukan adalah orang yang mulia, dimana ia mendapat hidayah dari Allah Ta'ala untuk memperbaiki diri.
Hal tersebut berkaitan dengan pembahasan kali ini, yakni beberapa cara membersihkan harta haram. Barangkali misalnya ada yang dulunya seorang pencuri atau mengambil hak orang lain dsb dan ingin melepaskan dari jeratan harta haram tersebut, ada beragam cara berikut yang bisa dilakukan, mari simak selengkapnya.
1. Menghancurkan Harta Haram
Sahabat Anas ibn Malik Radhiyallahu anhu mengisahkan bahwa sahabat Abu Talhah bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam perihal beberapa orang yang menyantuni anak yatim yang menerima warisan berupa khamar. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menanggapi pertanyaan Abu Talhah ini dengan bersabda: “Tumpahkanlah.” Mendengar jawaban itu, sahabat Abu Talhah berkata, “Tidaklah lebih baik bila khamar itu aku proses agar menjadi cuka?”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Tidak.” Karena keharaman harta ini bersifat permanen dan berlaku atas semua orang maka haram untuk diperjualbelikan. Contoh pertama adalah alkohol, jika ada yang berbuat dosa misalnya membuat atau menjual alkohol yang haram dan ingin dibersihkan, cara satu satunya ialah dihancurkan, tidak diberikan atau diamalkan ke orang lain sebab justru dapat merusak dan menimbulkan bahaya.
2. Membuang Harta Haram
“Suatu hari datang seorang lelaki membawa hadiah berupa sekantong minuman alkohol untuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka menanggapi hadiah ini, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tahukah engkau bahwa Allah telah mengharamkan minuman khamar?’ Lelaki itu menjawab, ‘Tidak’, dan selanjutnya ia berbisik kepada seseorang. Melihat tamunya berbisik-bisik, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepadanya: ‘Apa yang engkau bisikan kepadanya?’ Lelaki itu menjawab, ‘Saya memintanya untuk menjualkan khamar tersebut.’ Menanggapi pengakuan tamunya ini Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sejatinya Allah yang mengaharamkan minum khamar juga mengharamkan penjualannya.’”
3. Harta Haram Dilarang untuk Dijual
“Semoga Allah membinasakan kaum Yahudi, sejatinya tatkala Allah Azza wa Jalla mengharamkan lemak hewan ternak atas mereka, maka mereka melelehkannya hingga menjadi minyak, lalu mereka menjualnya dan menikmati hasil penjualannya.”. Contoh kali ini misalnya lemak babi padahal ada penyebab babi diharamkan, lemak babi jelas haram, tidak boleh dijual dan hasil penjualannya diamalkan untuk membersihkan harta haram, benda yag haram harus dibuang dan dihancurkan.
4. Bertaubat dengan Kesungguhan
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba ( yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu: kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya. [QS. al-Baqarah /2: 278-279].
5. Meminta Maaf pada yang Telah Dizalimi atau Diambil Hartanya
Dikisahkan bahwa suatu hari Sahabat Safwan ibn Umayyah Radhiyallahu anhu tidur di masjid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berbantalkan bajunya. Di saat terlelap dalam tidurnya, bajunya dicuri oleh seseorang. Namun, pencuri bajunya itu berhasil ditangkap dan segera dihadapkan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka segera Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan agar sesuai hukum mencuri dalam islam pencuri itu dipotong tangannya.
Mengetahui pencuri bajunya akan segera dipotong tangannya, Sahabat Safwan Radhiyallahu anhu merasa iba, sehingga ia berkata kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ”Wahai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, apakah tangannya akan engkau potong karena ia mencuri bajuku? Ketahuilah bahwa aku telah menghalalkan bajuku untuknya.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menanggapi ucapan Sahabat Safwan Radhiyallahu anhu dengan bersabda: “Mengapa tidak engkau maafkan sebelum engkau melaporkannya kepadaku?
6. Memahami Perbuatan Buruk dan Menyesalinya
Menyesal, karena telah memakan atau menggunakan barang yang haram untuk dimakan atau digunakan serta bertekad untuk tidak mengulanginya. Jangan lupa memanjatkan doa pengampunan dosa kepada Allah atas dosa memakan atau menggunakan harta yang haram untuk digunakan.
7. Mengembalikan pada yang Berhak
Bila harta haram tersebut diharamkan karena alasan cara mendapatkannya yang terlarang, maka wajib untuk mengembalikan harta tersebut kepada pemiliknya atau meminta untuk dimaafkan. Baik pemiliknya adalah perorangan atau instansi pemerintah atau perusahaan atau lainnya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Janganlah engkau mengambil barang milik temanmu, baik hanya sekedar bermain-main atau sungguh-sungguh. Dan bila engkau mengambil barang milik saudaramu, maka segera kembalikanlah kepadanya.”
8. Mengakui Perbuatan pada yang Dizalimi
Pada hadits lain beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa pernah melakukan tindak kezaliman kepada seseorang, baik dalam urusan harga dirinya, atau hal lainnya, maka segeralah ia meminta untuk dimaafkan, sebelum tiba hari yang tiada lagi dinar atau dirham.
Bila hari itu telah tiba maka akan diambilkan dari pahala amal salehnya dan diberikan kepada orang yang ia zalimi sebesar tindak kezalimannya. Dan bila ia tidak memiliki pahala kebaikan, maka akan diambilkan dari dosa-dosa orang yang ia zalimi dan akan dipikulkan kepadanya.
9. Disalurkan untuk Kepentingan Umat Banyak
Disalurkan untuk kepentingan kaum muslimin secara umum, tidak khusus pada orang dan tempat tertentu. Demikian pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Misalnya adalah untuk membantu kegiatan umat muslim, misalnya ada yang membutuhkan dana untuk program belajar, kesehatan, dsb yang bermanfaat untuk orang banyak, tentunya harta tersebut akan sangat bermanfaat, niatkan untuk orang yang dizalimi tersebut serta niatkan untuk menyucikan diri dari dosa harta haram.
10. Diberikan untuk Kepentingan Umat, misalnya Masjid
Disalurkan sebagai sedekah sunnah secara umum, mencakup hal yang terdapat maslahat, pemberian pada fakir miskin atau untuk pembangunan masjid. Ini adalah pendapat Hanafiyah, Malikiyah, pendapat Imam Ahmad, Hambali, dan pendapat Imam Ghozali dari ulama Syafi’iyah.
Untuk pendapat ulama pertama boleh diberikan untuk membantu pembangunan masjid dimana masjid tentunya dibutuhkan umat muslim untuk beribadah, misalnya ialah masjid di suatu daerah yang sudah rusak dan kurang layak, dapat diberikan harta tersebut. Tentunya tidak dihitung sedekah, hanya dihitung sebagai cara penyuci harta haram tersebut.
11. Diberikan Kepada Fakir Miskin
Disalurkan pada maslahat kaum muslimin dan fakir miskin selain untuk masjid. Demikian pendapat ulama Lajnah Ad Daimah Kerajaan Saudi Arabia. Tidak boleh harta tersebut disalurkan untuk pembangunan masjid karena haruslah harta tersebut berasal dari harta yang thohir (suci). Memang ada perbedaan pendapat, yang penting adalah niatnya untuk mensucikan harta tersebut. Harta jelas tidak boleh seterusnya dinikmati dimana harta berasal dari sesuatu yang haram.
12. Digunakan untuk Jihad
Disalurkan untuk tujuan fii sabilillah, yaitu untuk jihad di jalan Allah. Demikian pendapat terakhir dari Ibnu Taimiyah. Jihad ada beragam cara, misalnya untuk membantu keperluan berperang umat muslim yang melawan kafir dsb.
13. Disumbangkan pada Korban Peperangan atau Bencana Alam
Jika harta haram yang dicuri tidak mampu dikembalikan karena suatu hal, misalnya karena tidak tahu dimana orang itu tinggal atau alasan lain, uang atau benda yang haram tersebut dapat diberikan kepada yang membutuhkan misalnya korban peperangan atau bencana alam yang jelas amat membutuhkan. Namun harta tersebut tidak dihitung sebagai sedekah atau beramal, hanya untuk membersihkan dan dalam rangka menyucikan diri saja.
14. Disumbangkan pada Ahli Waris
Jika harta didapat dari sesuatu yang tidak baik itu telah meninggal dunia orang yang bersangkutan, maka dapat diberikan kepada ahli warisnya dan dengan taubat serta permintaan maaf terlebih dahulu, tentunya memang harus diperlukan keberanian untuk mengakuinya, namun tentu hal itu jauh lebih baik daripada nantinya mendapat balasan yang berat di akherat.
15. Disumbangkan dengan Niat yang Dizalimi
Jika harta didapat dari menzalimi orang lain seperti mencuri dan tidak bisa mengembalikan karena beragam alasan, harta juga dpaat disumbangkan kepada yang membutuhkan dengan cara meniatkan untuk orang yang dizalimi tersebut, tentunya sambil bertaubat tidak mengulangi perbuatan lagi dan bekerja keras dengan berusaha mencari harta lain dengan jalan yang halal.
16. Digunakan untuk fasilitas umum
Untuk bunga bank, prinsipnya termasuk yang haram. Solusinya, beberapa fatwa, seperti dari Syekh Yusuf Qaradhawi, bunga bank bisa dimanfaatkan untuk sesuatu yang bersifat fasilitas umum, namun dari sesuatu yang diinjak-injak, seperti membangun jalan atau sesuatu yang kotor, misalnya membangun toilet. Meski status asalnya tetap haram terutama jika digunakan untuk diri sendiri.
Status harta riba yang digunakan untuk membangun fasilitas umum seperti jalan, bisa bernilai pahala dari sisi pengorbanan sang pemilik. Hakikatnya hak harta tersebut ada pada nasabah, namun dikorbankan untuk digunakan bagi kepentingan umum.
17. Segera bertaubat
Kewajiban bagi pemilik harta haram, yakni segera bertobat dan membebaskan tanggung jawab dirinya dari harta haram itu. Komisi Fatwa MUI mendasarkan keputusan tersebut pada firman Allah Ta'ala, “Hai orang yang beriman, nafkahkanlah sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu.” (QS al-Baqarah [2]: 267).
Harta haram, baik zat maupun cara memperolehnya, merupakan sesuatu yang tidak layak untuk dibelanjakan di jalan Allah. Karena, Allah hanya menerima sesuatu yang baik. “Sesungguhnya Allah itu Mahabaik dan tidak menerima kecuali yang baik.” (HR Muslim).
Demikian yang dapat disampaikan, semoga kita semua selalu mendapat kesempatan untuk bertaubat sebelum terlambat.
Semoga bermanfaat....
ONE DAY ONE HADITS
Senin, 22 Januari 2024 M / 10 Rajab 1445 H.
Hakekat Harta Manusia
عَنْ مُطَرِّفٍ عَنْ أَبِيهِ قَالَ أَتَيْتُ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- وَهُوَ يَقْرَأُ (أَلْهَاكُمُ التَّكَاثُرُ) قَالَ « يَقُولُ ابْنُ آدَمَ مَالِى مَالِى - قَالَ - وَهَلْ لَكَ يَا ابْنَ آدَمَ مِنْ مَالِكَ إِلاَّ مَا أَكَلْتَ فَأَفْنَيْتَ أَوْ لَبِسْتَ فَأَبْلَيْتَ أَوْ تَصَدَّقْتَ فَأَمْضَيْتَ ». صحيح مسلم - م (8/ 211)
“Dari Mutharrif dari Bapaknya “Aku pernah menemui Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam ketika sedang membaca surat (أَلْهَاكُمُ التَّكَاثُرُ) , beliau bersabda: “Anak manusia mengucapkan: “Hartaku, hartaku”, kemudian beliau bersabda: “Wahai anak manusia, Apakah kamu memiliki dari hartamu melainkan yang kamu telah makan lalu habis, atau yang kamu telah pakai lalu rusak, atau yang telah kamu sedekahkan maka itu yang tersisa”.
(HR. Muslim 211).
Dalam riwayat Muslim yang lain ada tambahan sebagai penjelas, setelah Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menjelaskan tiga fungsi harta tadi, beliau bersabda:
« وَمَا سِوَى ذَلِكَ فَهُوَ ذَاهِبٌ وَتَارِكُهُ لِلنَّاسِ ».
Artinya: “Dan selain itu maka dia akan sirna dan dia tinggalkan untuk manusia.”
(HR. Muslim).
Pelajaran yang terdapat dalam Hadits:
1- Harta menjadi milik abadi Ketika di infakkan dalam kebaikan dengan motif mencari ridho Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Nah bila demikian halnya kita patut berbangga, dengan harta yang dimiliki.
2- Mengapa kita mesti berbangga-bangga, sedangkan harta yang bermanfaat jika tidak digunakan dalam kebaikan.
3- Semua yang digunakan selain untuk jalan kebaikan, tentu akan sirna dan sia-sia.
4- Seharusnya yang kita banggakan adalah bagaimana iman yag diterjemahkan dalam aksi nyata. bagaimana ketakwaan kita di sisi Allah, bagaimana kita bisa amanat dalam menggunakan harta titipan ilahi.
5. Masing masing orang mempunyai amalan special ada yang masuk surga lewat pintu sholat
Ada pula yang melalui pintu puasa, dzikir, wirid dsb, dan yang lebih spesial melalui pintu Sedekah. Harta yang disedekahkan itulah yang bisa menyelamatkan orang dari siksa kubur dan azab neraka.
Tema hadits yang berkaitan dengan Al Qur'an :
1. Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman :
آَمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَأَنْفِقُوا مِمَّا جَعَلَكُمْ مُسْتَخْلَفِينَ فِيهِ فَالَّذِينَ آَمَنُوا مِنْكُمْ وَأَنْفَقُوا لَهُمْ أَجْرٌ كَبِيرٌ
Berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya. Maka orang-orang yang beriman di antara kamu dan menafkahkan (sebagian) dari hartanya memperoleh pahala yang besar.”
(QS. Al Hadiid: 7).
2. Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman :
وَاَ نْفِقُوْا مِنْ مَّا رَزَقْنٰكُمْ مِّنْ قَبْلِ اَنْ يَّأْتِيَ اَحَدَكُمُ الْمَوْتُ فَيَقُوْلَ رَبِّ لَوْلَاۤ اَخَّرْتَنِيْۤ اِلٰۤى اَجَلٍ قَرِيْبٍ ۙ فَاَصَّدَّقَ وَاَ كُنْ مِّنَ الصّٰلِحِيْنَ
"Dan infakkanlah sebagian dari apa yang telah Kami berikan kepadamu sebelum kematian datang kepada salah seorang di antara kamu; lalu dia berkata (menyesali), Ya Tuhanku, sekiranya Engkau berkenan menunda (kematian)ku sedikit waktu lagi, maka aku dapat bersedekah dan aku akan termasuk orang-orang yang saleh."
(QS. Al-Munafiqun 63: Ayat 10).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.